Ketika Dini menyemprotkan air ke arah Didi—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Dini kenal.
“Hei, lihat itu!”
Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Didi. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal.
Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.
Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Lea tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”
Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!
“Dini! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Arin berteriak sambil menarik belalai Dini dengan belalainya..
Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.
Dini panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Arin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.
“ Arin! Di mana ibuku?” tanya Dini.
“ I-ibu … ibumu ….” Arin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Dini berada.
“ Aku harus kembali ke sarang!” Dini melepaskan belalainya dari belalai Arin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.
Namun, sebelum Dini melancarkan niatnya itu, Arin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”
Dini menghiraukan ucapan Arin lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.
“ Dini!” Arin berteriak di belakangnya.
Dini sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.
“Ibu!” teriak Dini sekuat tenaga.
“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Dini sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Dini menjauh dari tempat ini.
“Tidak! Aku tidak mau!” balas Dini keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?
“Cepat pergi, Dini!”
“Dini! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Arin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Dini.
“Tidak mau!” Dini menyentak belalai Arin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”
“Jangan, Dini!” bentak Arin
Kraaak! Braaak!
“IBU!! IBU!!” Dini terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Dini.
“Ayo, Dini, kita harus pergi,” lirih Arin sambil menarik Arin.
Sekali lagi Dini menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas *