Setiap membuka jendela mungil itu, kau ingin melihat ibu. Sorot mata dan senyum teduh milik perempuan yang melahirkanmu itu telah mendera rindumu selama dua puluh tahun terakhir. Namun, yang kau temukan hanyalah bunga-bunga bugenvil putih yang sedang bermekaran. Tak ada ibu di sana. Walaupun kau terus berharap, ibu tak pernah hadir menjawab kerinduanmu meskipun hanya dalam mimpi.
Jendela itu hampir seusiamu dan telah menjadi saksi perjalanan panjang hidupmu. Bermula dalam rumah kayu hangat penuh cinta hasil jerih lelah ayahmu, lelaki yang baru pulang ketika senja tiba, setiap harimu adalah perayaan. Kokok ayam, asap tungku, aroma nasi dari periuk, dan bunyi timba di sumur membuatmu terjaga setiap pagi. Sarapan sederhana yang terhidang menjadi hal yang paling kau nantikan. Ikan asin atau tempe goreng bukanlah masalah, karena setiap suapan ibu akan menyulap makanan apa pun menjadi istimewa.
Semasa kanak-kanak, kau sering mengamati ibu dari jendela itu ketika ia sedang merawat bunga-bunga kesayangannya di pekarangan samping. Seruan dan lambaian tangan ibu akan membuat senyummu terbit seperti mentari terbit. Sepasang tangan ibu yang berlumuran tanah dan peluh yang menetes di keningnya menjadi hal yang tak pernah kau lupakan. Saat melihat ibu sedang bergerak di antara bunga-bunga bugenvil putih, kau membayangkan ibu adalah jelmaan putri cantik dalam dongeng yang kerap ia ceritakan.
Sekali waktu ibu menghampiri jendela kemudian mengecup keningmu. Kau menjerit kecil saat ibu menjawil pipimu dan meninggalkan tanah basah di sana. Lalu, kalian tertawa bersama merayakan hari-hari sederhana penuh cinta. Sementara hari mulai terik dan ayah masih pergi untuk mencari sesuap nasi, kau menemani ibu melipat baju atau menjahit celana sobek di dekat jendela. Kau menyukai wajah ibu yang tersenyum saat melihat bunga-bunga kesayangannya di pekarangan. Dalam hati kau tak sabar menanti petang, ketika ibu menceritakan dongeng untukmu sambil sesekali mengelus rambutmu penuh kasih.
Senja merupakan saat terbaik untuk mendengarkan dongeng kedua, kejutan yang sering dibawa ayah pulang. Kau melompat ke dalam pelukan lelaki pengasih itu dan siap menjadi pendengar setia. Setelah berhasil membuatmu terpukau, ayah akan memintamu untuk memilih dongeng siapa yang paling kau sukai, dongeng ayah atau ibu. Kau selalu menjawab mereka berdua adalah pendongeng terbaik di dunia untuk mencegah keributan pura-pura yang akan berakhir sama: mereka akan berdamai bagaimanapun caranya.
Malam adalah peraduan paling nyaman dalam istanamu, rumah kayu hangat penuh cinta. Kau mulai mengantuk dalam pelukan ibu saat mendengar ia bercakap-cakap dengan ayah di dekat jendela sambil memandang bintang-bintang. Rembulan dalam pelukan, begitulah ibu berbisik di telingamu sebelum kau lelap dan berkelana dalam petualangan mimpimu.
Kau mengusap wajah pelan. Kenangan tentang ibu, ayah, dan rumah kayu hangat penuh cinta berseliweran dalam benakmu saat kau duduk di depan jendela itu. Lalu, kau teringat ayah pernah mengatakan bahwa jendela itu adalah jendela ibu. Ayah membuat jendela bercat hijau itu karena ibu ingin menikmati keindahan bunga-bunga bugenvil putih di pekarangan samping dari jendela itu. Ayah tak pernah tahu alasan lainnya karena ibu hanya mengatakannya padamu: ibu ingin menjadi orang pertama yang melihat kepulangan ayah dari jalan kecil menuju rumah.
Kehangatan dalam rumah kayu telah membuatmu tumbuh menjadi gadis riang yang tak gentar akan hari esok. Hingga suatu hari kehangatan itu tiba-tiba raib. Ayahmu tak pernah muncul dari ujung jalan kecil itu meskipun kau dan ibu menunggu kepulangannya setiap senja tiba. Ibu tampak selalu gelisah dan kau tak tahu harus bagaimana. Lalu, seseorang datang dan mengabarkan ayah lenyap di hutan. Sejak itu tawa ibu berubah menjadi tangisan yang seolah tiada akhirnya.
Ketika ibu berniat pergi ke hutan untuk mencari ayah, kau berusaha mencegahnya karena tak ingin ditinggalkan sendirian. Ibu membujukmu dengan sorot mata penuh permohonan dan berjanji takkan pergi lama. Ia khawatir ayah akan menjadi santapan binatang buas. Kau melepas ibu dengan mata berair dan seruan agar ibu segera kembali. Ibu hanya menoleh sekilas padamu, lalu pergi dengan langkah terburu-buru.
Hingga senja turun, ibu tak kunjung pulang. Orang-orang datang silih berganti untuk menemanimu, tetapi kau hanya menangis semalaman karena cemas. Berhari-hari kemudian, sekumpulan orang datang membawa pulang ayah dan ibumu yang tak lagi bernyawa. Rumah kayu yang kau diami seolah runtuh seketika. Tak ada yang mampu meredakan tangismu dan tak seorang pun bisa memahami luka hatimu. Bila malam tiba, ketika kau sangat merindukan pelukan ibu, hatimu seakan tertusuk duri dan rasa kehilangan begitu menyesakkan.
Seorang bibi yang belum pernah kau lihat datang untuk membawamu pergi ke kota yang ramai. Kau tak menampik karena rumah kayu kini tak lebih rumah yang terasa hampa. Kau hanya mengatakan bahwa kau ingin membawa jendela ibu karena berharap dapat melihat ibu dari jendela itu sekali lagi. Bibimu hanya mengangguk dengan raut sedih, lalu memelukmu erat dan menganggukkan kepala.
Hari-hari di kota kau lalui dengan wajah murung. Tak ada yang bisa membuatmu tersenyum atau tertawa. Bibimu yang baik hati memasang jendela ibu di dinding rumah kecilnya yang berdesakan di tengah kota. Tak ada yang bisa kau lihat dari jendela itu selain gang sempit dengan aroma pesing yang menguar bila malam tiba. Berkali-kali kau membuka jendela itu, tapi kau tetap tak bisa melihat ibu. Kau bertarung dengan kerinduan yang kian menumpuk setiap harinya.
Tahun-tahun berlalu dan kau tumbuh menjadi perempuan muda yang menurut bibimu harus segera menikah. Padahal, bibimu sendiri betah melajang dan kau tak pernah tahu apa alasannya. Suatu kali kau membuka jendela ibu dan kau melihat senyum seseorang terbit bagaikan mentari pagi. Senyum itu milik seorang lelaki muda yang tak kau kenal. Ketika lelaki itu mulai berkata-kata, kau hanya mematung tanpa mengucapkan sepatah kata.
Tiga bulan kemudian, setelah lelaki itu beberapa kali datang dan mengajakmu berjalan-jalan, lelaki itu pun melamarmu di depan bibimu. Kau tak menemukan alasan untuk menolaknya. Saat mendengar kata-kata lelaki itu, sepasang mata bibimu berlinang, entah merasa bahagia, mungkin pula sedih karena belum ada lelaki yang melamarnya. Setelah acara pernikahan yang berlangsung sederhana, lelaki itu berniat membawamu tinggal bersamanya. Kau menyetujuinya dengan satu syarat, lelaki itu harus memasang jendela ibu di rumah yang kalian tinggali. Tak butuh waktu lama hingga lelaki itu menganggukkan kepala dan tersenyum seperti pertama kali kau melihatnya.
Hari-hari di rumah barumu berlangsung bahagia. Rumah mungil yang kalian tempati terasa bagaikan rumah kayu hangat penuh cinta. Jendela ibu mengarah ke pekarangan samping dan kau telah menanam beberapa batang bugenvil dalam pot di sana. Dari jendela itu pula, kau dapat melihat kepulangan lelaki itu setiap senja mulai turun. Walaupun demikian, kau masih belum juga melihat ibu.
Setelah lelaki itu bekerja dengan giat bertahun-tahun lamanya, rumah mungil pun menjadi kenangan. Lelaki itu membeli rumah besar dan memboyongmu pindah ke sana. Kau bahagia karena bisa menanam lebih banyak bugenvil di pekarangan samping yang luas. Walaupun lelaki itu mengatakan bahwa jendela ibu tak layak dipasang di rumah besar yang kalian huni, kau bersikeras dan berhasil membuatnya mengalah. Walaupun demikian, kini kau tak bisa lagi melihat kepulangan lelaki itu dari jendela ibu karena terhalang tembok pagar yang menjulang.
Kau masih berharap dapat melihat ibu sekali lagi dari jendela ibu, tetapi kau selalu menuai kecewa. Hanya bunga-bunga bugenvil yang terlihat setiap kali kau membuka jendela. Sementara jendela ibu semakin keropos dimakan waktu, hatimu kian rapuh digerogoti rindu. Tanpa kau sadari, kau lupa menghitung sudah berapa kali senja lelaki itu tak pulang. Rumah besar yang kau huni perlahan kehilangan kehangatan.
Suatu senja yang dipayungi bianglala, lelaki itu pulang membawa seorang perempuan muda dan bayi mungil berselimut merah muda. Tiba-tiba air matamu menitik saat menyadari kau merindukan kehadiran malaikat kecil seperti itu dalam hidupmu yang sepi. Hingga lelaki itu mengatakan bayi mungil itu adalah miliknya dan perempuan muda itu.
Hatimu retak. Kau kehilangan kata-kata saat lelaki itu menginginkan perempuan muda itu tinggal bersama kalian dan mengatakan hanya itu jalan agar semua orang tetap bahagia. Kau menatap keduanya bimbang, lalu membuang pandang keluar jendela. Kau berharap ibu tiba-tiba muncul dan menjawil pipimu agar kau terjaga dari mimpi burukmu. Namun, ibu tak kunjung muncul dan kau menyadari yang sedang kau alami bukanlah mimpi.
“Jangan pergi, tetaplah bersama kami di sini.” Hanya itu yang dikatakan lelaki itu untuk mencegah kepergianmu. Kau menatap lelaki itu dan menggeleng lemah. Tak ada lagi yang perlu dipertahankan karena kau sudah merelakan segalanya saat melihat bayi mungil itu.
Kau pergi meninggalkan rumah besar itu dan membawa jendela ibu. Tiada tempat yang kau tuju selain rumah bibi yang sudah lama tak kau singgahi. Kau terkejut saat melihat seorang lelaki sudah hidup bersamanya. Tak ada tempat lagi tempat untukmu di rumah kecil itu. Rumah kayu hangat penuh cinta pun terlintas dalam benakmu. Kau memutuskan sudah waktunya untuk pulang.
Orang-orang yang melihat kepulanganmu bertanya-tanya ketika melihat kau menangis di depan rumah yang nyaris ambruk karena tak dirawat selama bertahun-tahun. Batang-batang bugenvil tua di pekarangan samping berada di ambang kematian. Hatimu hancur berkeping-keping dan sesal menyesakkan dadamu. Kau terlalu lama meninggalkan rumah yang pernah memberimu rasa hangat dan cinta.
Senja telah tiba ketika jendela ibu kembali terpasang di tempatnya semula. Tanganmu bergetar saat membuka jendela itu. Kau mengerjapkan matamu berkali-kali seolah tak percaya. Lalu, senyum di bibirmu pun perlahan mekar. Ibu sedang tersenyum dan melambaikan tangan padamu di antara bunga-bunga bugenvil putih di pekarangan samping. Saat kau menyentuh pipimu, bekas tanah itu terasa seperti baru kemarin.
***
Fitri Manalu
Ia menulis cerpen, puisi, dan artikel di sejumlah media. Pada tahun 2016, ia meraih penghargaan Kompasiana Award kategori “Best Fiction” dalam perhelatan Kompasianival di Jakarta. Salah satu cerpennya terpilih dalam lomba “Nulis dari Rumah” yang diselenggarakan atas kerja sama Kemenparekraf dan IKAPI pada tahun 2020. Ia baru saja terpilih menjadi salah satu pembicara dalam Festival Literasi Balige yang akan digelar akhir bulan Juli mendatang. Saat ini ia bergiat di komunitas menulis Rumah Pena Inspirasi Sahabat dan menetap di Medan.