Sebelum Yoreta memulas bibirnya dengan lipstik berwarna terakota mengilat di tangannya, ia melirik lelaki yang sedang berdiri persis di sampingnya. Suaminya itu sedang mengancing baju seragamnya dengan teliti. Cermin besar di depannya menampilkan sosok perempuan lima puluhan yang mengenakan gaun bercorak batik sepanjang betis. Paras ovalnya tampak mulus tanpa keriput berkat rutin memakai krim yang menurut iklan di televisi mampu membuat kaum perempuan kembali pada masa remaja mereka. Yoreta berharap lelaki berperawakan sedang itu akan memuji penampilannya pagi ini.
Suara deham terdengar lirih memecah keheningan. Ia sengaja melakukannya agar perhatian lelaki itu tertuju padanya, tetapi tak ada reaksi. Yoreta lalu memoles bibirnya dengan hati-hati. Selesai. Penampilannya di cermin tidak bercela, sungguh tak sia-sia ia menguras uang pemberian suaminya minggu lalu. Lima detik Yoreta menunggu, tapi tak terdengar jawaban apa-apa. Akhirnya, ia menoleh dan bertanya dengan nada lembut, “Bagaimana penampilanku hari ini, Bang?”
“Cantik,” sambut suaminya cepat tanpa menoleh. Lelaki itu mematut dirinya di depan cermin, merapikan kemeja, mengetatkan ikat pinggang, dan menyisir rambut dengan hati-hati. Sebagai penutup, lelaki itu meraih sebotol parfum di meja rias kemudian menyemprotkannya di balik daun telinga dan pergelangan tangan. Aroma rempah-rempah menguar dalam kamar tidur mereka yang dicat berwarna krem.
“Terima kasih, Bang,” balas Yoreta pelan. Seperti biasa, reaksi lelaki itu datar saja. Padahal, sebagai seorang perempuan, ia juga membutuhkan sanjungan. Sudah lebih dari dua puluh tahun sejak mereka menikah, tentu ia paham betul tabiat lelaki itu. Namun, rumah ini terasa begitu sepi sejak putra semata wayang mereka pergi menimba ilmu ke kota lain. Jika lelaki itu bersikap hangat seperti tahun-tahun awal perkawinan mereka, pasti ia takkan merasa sendirian.
“Aku ke kantor sekarang,” ujar suaminya dan berlalu begitu saja. Sudah lama mereka tak sarapan bersama sambil berbincang di pagi hari karena suaminya ingin menghindari kemacetan yang semakin parah di kota mereka.
Kamar tidur kembali sunyi. Pandangan Yoreta tertuju pada deretan botol parfum dengan merek-merek ternama di atas meja rias. Sebagian besar milik suaminya. Ketika pandangannya berpindah ke cermin, ia menyadari bahwa meskipun tahun-tahun telah berlalu, tetapi kecantikan masa mudanya belum memudar. Orang-orang terdekatnya juga berpendapat demikian. Yoreta berusaha tersenyum, lain kali ia harus lebih berusaha agar suaminya terkesan.
Karena itu Yoreta tak berpikir panjang saat meraih ponsel dan mengetik pesan singkat kepada suaminya. Ia butuh uang tambahan untuk membeli pakaian dan sepatu baru di butik langganannya hari ini. Belasan detik kemudian ia mendapat pemberitahuan. Suaminya mengirim uang ke rekeningnya dengan jumlah lebih besar dari minggu lalu. Semangatnya kembali muncul. Ia meraih tas dan bergegas menuju teras. Mobil dan supir pribadinya sudah menanti di depan rumah, ia akan sarapan di luar saja.
Hari telah gelap ketika Yoreta kembali tiba di rumah. Dua orang asisten rumah tangga yang menyambut kedatangannya dan dengan sigap menurunkan kantong-kantong belanja dari mobil. Setelah meletakkan tas di meja dan minta dibuatkan minuman dingin, ia melepaskan sepatu berhak tinggi yang dikenakannya seharian. Ia lalu duduk di sofa empuk yang baru dibeli suaminya kemarin dan menyalakan televisi.
Lagi-lagi berita tentang selebritis Tanah Air. Yoreta menatap layar kaca dengan jemu. Salah satu asisten rumah tangga datang dan meletakkan segelas minuman dingin di meja. Setelah mengucapkan terima kasih, Yoreta langsung meneguknya. Lumayan, kerongkongannya terasa segar. Ia memijit betisnya yang terasa pegal dan kembali menatap layar kaca. Setelah mengganti saluran beberapa kali, akhirnya ia membiarkan televisi menyala tanpa menikmatinya.
Dua belas kantong belanja yang kini terletak tak jauh dari kakinya membuat benaknya mengembara. Dahulu, untuk membeli sebuah gaun saja, ia harus berhitung dengan cermat. Gaji suaminya sebagai pegawai biasa hanya cukup untuk makan sehari-hari dan bayar kontrakan. Jika tidak pandai berhemat, mereka harus berutang. Karena itu ia menekan segala pengeluaran, jangan sampai suaminya menganggap dirinya tak becus mengurus keuangan rumah tangga. Ia juga tak ingin mengecewakan suaminya yang selalu menyerahkan seluruh gajinya setiap awal bulan tiba.
Kala itu rumah kontrakan mereka selalu penuh dengan tawa. Setiap pukul enam sore, ia bersiap menyambut kedatangan lelaki itu di pintu. Bila ada rejeki nomplok, lelaki itu akan membawa martabak manis, putu bambu, atau pisang goreng untuknya. Bagi Yoreta, kehidupan sederhana mereka adalah surga. Karena itu ia tidak pernah mengomel ketika air macet sehingga ia terpaksa harus meminta air dari para tetangga. Ia dan suaminya saling mencintai, alasan itu lebih dari cukup baginya untuk berbahagia.
Tahun-tahun berlalu dan kehidupan mereka mulai membaik. Karir suaminya mulai naik sehingga mereka mampu mencicil rumah sederhana untuk mereka tempati. Lelaki itu bahkan sesekali membawa pulang uang lebih dan menyuruh Yoreta untuk membeli baju baru. Sebagai seorang istri, tentu saja Yoreta merasa sangat bersyukur. Suaminya seorang pekerja keras dan sering bekerja lebih lama dari biasanya. Wajar saja kerja keras dihargai dengan hasil yang setimpal.
Sembari memejamkan mata, Yoreta menyandarkan tubuhnya di sofa. Meskipun semakin lama kekayaan mereka semakin bertambah, tetapi surga itu telah lenyap. Setiap hari ia hanya bertemu suaminya sebentar saja, kadang-kadang ia malah sudah tertidur ketika suaminya pulang. Lelaki itu bahkan berhari-hari meninggalkan rumah saat dinas ke luar kota. Percakapan mereka semakin singkat, terkesan sekadarnya saja. Suara tawa telah lenyap dari rumah mereka yang kini telah menjadi rumah mewah dengan fasilitas yang dahulu tak pernah ia bayangkan.
“Mengapa kita jadi begini, Bang?” gumam Yoreta gundah. Kesuksesan suaminya memang membuat mereka berkecukupan. Ia tak perlu lagi pusing berhitung agar gaji suaminya cukup untuk sebulan. Namun, jika boleh memilih, ia ingin kembali pada masa lalu mereka.
Yoreta menegakkan tubuh dan menatap hampa ke layar kaca, sampai pembawa berita menyebutkan instansi tempat suaminya bekerja. Dengan cepat ia meraih remote dan menaikkan volume.
Breaking news. Pejabat berinisial XY diduga terlibat kasus korupsi….
Saat melihat suaminya muncul di layar kaca, ia tak lagi menyimak lanjutan berita itu. Lelaki itu tampak berjalan tergesa-gesa karena diburu belasan awak media. Seorang perempuan muda, cantik, dan berpenampilan menarik berjalan beriringan dengan suaminya. Ia belum pernah melihat perempuan itu. Sepasang mata Yoreta membesar saat lengan suaminya merangkul bahu terbuka milik perempuan muda itu. Lelaki itu, suaminya, berusaha melindungi perempuan asing itu dari desakan awak media.
Seketika pikiran Yoreta buntu. Segalanya muncul silih berganti, botol-botol parfum di meja rias yang terus bertambah, uang yang berlimpah, sikap dingin suaminya, dan hari-hari ketika suaminya tidak pulang ke rumah. Kepalanya nyeri bukan kepalang. Ketika rasa nyeri itu mencapai puncaknya, ia berteriak dan meraih semua kantong belanjaan miliknya, lalu melemparkannya tak tentu arah.
***
Fitri Manalu
Ia menulis cerpen, puisi, dan artikel di sejumlah media. Pada tahun 2016, ia meraih penghargaan Kompasiana Award kategori “Best Fiction” dalam perhelatan Kompasianival di Jakarta. Salah satu cerpennya terpilih dalam lomba “Nulis dari Rumah” yang diselenggarakan atas kerja sama Kemenparekraf dan IKAPI pada tahun 2020. Ia menjadi salah satu pembicara dalam Festival Literasi Balige yang digelar pada bulan Juli yang lalu. Saat ini ia bergiat di komunitas menulis Rumah Pena Inspirasi Sahabat dan menetap di Medan.