Laki-laki tua itu terseok memasuki gubuknya. Wajahnya pias, tubuhnya gemetar. Lebih dari satu jam dia berdiri, duduk, berdiri lagi, menjumpai orang-orang yang ditunjuk oleh perangkat desa untuk ditanyai mengenai kepentingan apa yang membawanya ke mari. Kalau saja tubuhnya bisa diajak berkompromi seperti saat muda dulu, tentu dia akan dengan senang hati berdiri semalaman di kantor desa itu demi mendapatkan haknya. “Pak Ahmad seharusnya masuk daftar penerima bansos tahun ini.” Setidaknya begitu yang ia dengar dari orang-orang di sekitarnya. Dan setidaknya, kalimat-kalimat itulah yang menyeret kakinya ke kantor desa hari itu.
Yang dia harapkan hanyalah ada namanya di daftar penerima bantuan sosial seperti yang digembor-gemborkan tetangga sekitar rumahnya. Sejak semalam, yang diimpikannya hanyalah beberapa butir beras yang mulai menipis di tong kecil di sudut dapur. Tapi sayang, dia lupa satu hal. Dia hanyalah lelaki tua yang kini berhadapan dengan orang-orang yang piawai dalam memainkan bahasa. Sepanjang percakapan di kantor desa, tidak sedikit yang membuat dahinya berkerut. Pak Ahmad merasa percakapan ini tidak akan membuahkan hasil.
Tangannya gemetar meraih cangkir besar berisi air hangat dengan penutup di atasnya. Diteguknya sedikit demi sedikit dengan napas tersengal. Betapa dia menyesal menuruti sisi hatinya yang lain hanya karena melihat beras di tong itu mulai habis. Semalaman isi kepalanya bertengkar. Seharusnya dia tak usah repot-repot mendatangi mereka untuk menanyakan perihal bantuan yang sangat tidak transparan itu.
Pak Ahmad menatap foto usang yang tergantung di gubuknya. Tampak seorang perempuan dengan selendang putih tersenyum di sana. Sebuah senyum yang selalu ia pandang saat hatinya sedang tak karuan seperti sekarang.
“Saya ingin marah, Niek, tapi tidak tahu kepada siapa.” Bisiknya lirih.
“Beruntung kamu tidak merasakan kesulitan ini.”
Pak Ahmad menarik napasnya panjang. Sudut matanya basah.
* * *
Orang-orang berkumpul di gang masjid pagi itu. Ada bapak-bapak, tapi lebih banyak ibu-ibu. Masih tentang bantuan sosial yang jadi topiknya, ibu-ibu mulai bercerita betapa sebagian dari mereka merasa sangat terbantu dengan adanya program itu. Bantuan berupa ayam, kacang hijau, beras, hingga telur, membuat beberapa dari mereka memuji orang-orang yang ada di kantor desa itu. Pak Ahmad yang kebetulan lewat hendak mengantar telur bebek ke warung langganannya hanya bisa tersenyum kecut. Betapa dadanya terasa sesak mendengar percakapan itu.
“Pagi sekali mengantar telur bebeknya, Pak,” Suara seorang pemuda memecah lamunannya saat menunggu sang pemilik warung mengambil bayaran.
Pak Ahmad menoleh, lalu tersenyum. Pemuda yang tidak asing di matanya itu juga melempar senyum hangat.
“Mau sekalian cari sarapan,” Pak Ahmad tertawa kecil. “Kapan sampainya?”
“Kemarin malam, Pak. Niat hati hari ini ingin bertandang ke rumah bapak, tapi qadarullah ketemu di sini, ya, Pak,” Pemuda bernama Hanan itu balik tertawa ramah.
Tiba-tiba, pemuda itu mendekatkan tubuhnya ke Pak Ahmad, lalu memeluknya.
“Saya senang sekali melihat Bapak sehat-sehat seperti ini,”
Pak Ahmad tertegun. Hatinya yang mengkal karena persoalan bansos yang tadi pagi didengarnya, tiba-tiba menguap begitu saja mendengar kalimat yang terucap dari mulut Hanan; pemuda yang dulu pernah belajar mengaji dengannya, sebelum memutuskan untuk bekerja di luar daerah. Disambutnya pelukan Hanan dengan tangan gemetar. Betapa Pak Ahmad bisa merasakan ketulusan di sana.
* * *
Hari-hari berikutnya, orang-orang kembali berkumpul di gang masjid. Tapi kali ini berbeda, tidak ada puja puji yang terdengar dari mulut warga. Bahkan yang paling jelas terdengar adalah gunjingan yang beberapa hari ini memenuhi atmosfer desa. Bantuan sosial program keluarga harapan atau yang biasa warga sebut dengan Bansos PKH untuk masyarakat tidak mampu masih menjadi buah bibir.
“Katanya, sih, untuk masyarakat miskin, tapi kok si anu yang jelas-jelas rumahnya gedong gitu bisa kecipratan?” ujar ibu-ibu bertubuh tambun dengan wajah kesal.
“Iya, betul! Katanya bantuan untuk warga miskin, tapi si Polan yang motornya dua juga masuk ke dalam daftar penerima bansos, lho..” ibu-ibu berdaster merah ikut menimpali.
“Yang suaminya bekerja di kantor juga ada yang dapet, lho, Bu! Masih muda, ada penghasilan bulanan juga. Bukannya katanya bantuan itu untuk penyandang disabilitas dan yang sudah lanjut usia?” warga lain ikut bersuara.
“Harusnya orang-orang seperti Bu Darmi, Pak Kodir, dan Pak Ahmad itu, lho, yang kebagian. Malahan saya dengar mereka-mereka itu nggak ada dalam daftar nama penerima bansos desa kali ini.”
Hanan menelan ludah. Kejadian seperti ini terulang lagi. Beberapa waktu lalu, saat Hanan masih berada di desa ini, hal serupa terjadi. Kepala desa yang ketahuan memakai data warga miskin tapi tidak menyalurkannya kepada yang berhak menerima menjadi bulan-bulanan warga. Dana bantuan atas nama warga miskin malah digunakan untuk kepentingan pribadi beserta keluarganya. Tapi sanksi sosial tidak berlaku untuk manusia-manusia yang punya kekuasaan. Kemarahan warga bisa dibungkam dengan berjanjinya kepala desa akan mengganti semua kerugian atas masalah yang ditimbulkannya.
Dan sekarang terjadi lagi. Pak Ahmad yang semua warga desa tahu sangat layak mendapatkan bantuan dari desa, malah menjadi sasaran empuk oknum-oknum yang tahu betapa tidak berdayanya beliau. Orang tidak heran mengapa Pak Ahmad bisa sebaik ini, tanpa berniat protes. Dia hidup sendiri sejak istrinya meninggal dunia. Anak-anak? Pak Ahmad tidak pernah punya anak. Sebab itulah sejak kepergian istrinya, dia berusaha menghidupi dirinya sendiri di gubuk sederhana ini.
“Saya bantu urus ke perangkat desa, ya, Pak?” bujuk Hanan saat dia tiba di rumah Pak Ahmad.
“Saya bisa bantu bicara dengan Dirman, dia pasti bisa bantu menyelesaikan apa yang seharusnya menjadi hak Bapak,” tambahnya lagi.
Pak Ahmad diam saja. Menatap lamat-lamat ke arah jalan. Sinar matahari menyapu sebagian aspal.
“Orang-orang seperti mereka harus diberi pelajaran. Agar tidak seenaknya memakan hak orang lain,” Hanan masih mengomel dengan wajah merah padam.
“Izinkan saya membantu kali ini saja, Pak. Saya sungguh tidak terima melihat Bapak diperlakukan tidak adil seperti ini,” suara Hanan berubah parau.
Pak Ahmad memalingkan pandangannya, menatap wajah mantan murid mengajinya itu. Pemuda baik hati yang selalu mengunjunginya setiap kali dia pulang. Membawakan apa saja yang bisa dibawa, memberikan apa saja yang sedang ia butuhkan. Perhatian Hanan bahkan lebih besar dibanding perhatiannya terhadap diri sendiri.
“Bapak sudah ke kantor desa. Sudah ketemu Dirman juga. Sudah mengurus ini dan itu. Tapi hasilnya tidak ada. Segala sesuatu yang sudah kita usahakan, tapi tidak juga kita dapatkan, ada baiknya diikhlaskan,” suara Pak Ahmad terdengar tenang.
Hanan tercekat mendengar jawaban Pak Ahmad. “Bagaimana cara mengikhlaskan sesuatu yang kita tahu itu memang hak kita, Pak?”
“Kecukupan itu ada di sini,” Pak Ahmad menunjuk dadanya. “Rasa syukur atas apa yang sudah Gusti Allah gariskan kepada kita, tidak akan membuat kita serakah, sekalipun kita tahu ada bagian kita di sana.”
Sore itu, Hanan menyadari satu hal yang selama ini tidak ia sadari. Pak Ahmad, lelaki tua yang hidup sebatang kara; guru mengajinya saat masih belia; yang orang-orang kira adalah warga tak punya; nyatanya adalah orang paling kaya yang pernah dikenalnya. Kekayaan yang hakiki. Kekayaan yang berasal dari hati.
(Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia di SMA Swasta Amanah Tahfidz Qur’an, Medan Krio)