HOME

Karya : Vivi Wulandari NPM : 56829274 Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP BUDIDAYA BINJAI

HOME

Rumah adalah tempat kembali setelah beraktivitas dan tempat istirahat ternyaman seperti berkumpul bersama keluarga. Rumah adalah tempat untuk menciptakan, menyimpan dan mengingat kenangan. Rumah adalah sebuah pelindung dari panas terik matahari dan hujan. Sebuah investasi yang harus dimiliki setiap orang.

Namaku adalah Raga, seorang anak sulung dari keluarga yang cukup terpandang. Keluargaku cukup lengkap, ada Papa, Mama dan adik-adikku. Aku memiliki tiga orang saudara, dua laki-laki dan satu perempuan. Persaudaraan kami sangat kuat sekali kami juga jarang bertengkar dan memusuhi.

Aku selalu mengingat nasehat Papa. “Kalian adalah bersaudara, aliran darah kalian itu satu. Jadi jika ada satu yang tersakiti maka yang lain juga ikut terluka, maka itu jangan bertengkar atau saling memusuhi karena emosi semata yang bisa merusak ikatan persaudaraan.”

Papa selalu menegaskan jika kami memiliki masalah ataupun ketidaksukaan antara satu sama lain, kami harus membicarakannya dengan baik dan hati yang terbuka tanpa diliputi amarah dan emosi.

Aku selalu menanamkan nasehat papa di dalam aliran pikirkan dan hatiku, untuk selalu menjaga ikatan persaudaraan kami agar tetap utuh.

Walaupun dimana aku telah mengetahui rahasia besar yang disembunyikan oleh kedua orang tuaku, yang selama ini ternyata aku bukan anak kandung dari mama.

Aku selalu ingat prinsip mama dalam menjaga keutuhan rumah tangganya. Tidak boleh ada dusta diantara keluarga dan tidak boleh berbohong kepada sesama saudara ataupun orang tua, serta fakta bahwa aku bukanlah anak kandungnya.

Saat itu usiaku memasuki sepuluh tahun waktu dimana ayah memberitahu bahwa aku tidak dilahirkan dari rahim mama seperti ketiga adikku.

Aku sedih, dan menangis.

Anak mana yang tidak kecewa setelah mengetahui fakta bahwa ibu yang selama ini merawat dan menyayanginya bukanlah ibu kandungnya?

Saat itu karena kesedihan menyelimuti diriku, papa memutuskan hal itu tidak boleh dibahas lagi di keluarga. Tidak boleh sama sekali.

Namun reaksi yang diberikan ketiga adikku berbeda. Juna, Nara, dan Hansol diberitahu pada saat yang bersamaan, disaat umur mereka sudah beranjak dewasa. Dimana Juna berusia delapan belas tahun, Nara tujuh belas tahun, Hansol dua belas tahun dan aku yang sudah berusia dua puluh tahun.

“Kakak tidak dilahirkan dari rahim mama, kakak dilahirkan dari istri pertama Papa. Tetapi, akak tetaplah kakak kalian. Dia juga anak Mama.”

Waktu itu karena Hansol masih kecil dan tidak terlalu memahami ia hanya mengangguk, entah paham ataupun tidak maksud dari ucapan Papa. Ia justru kembali bertanya dengan pertanyaan konyol akibat pemikiran polosnya.

“Jadi kakak punya dua Mama? Kalo gitu Hansol juga mau punya dua Mama!!”

Sementara adikku yang kedua hanya diam. Juna tidak mengerti harus menjawab apa, ia hanya diam tapi diamnya berlangsung lama.

Namun setelah dinasehati baik-baik oleh mama barulah Juna mengerti dan bersikap kembali seperti semula.

Dan yang paling sulit dibuat mengerti adalah Nara. Satu-satunya anak perempuan papa itu menunjukan amarahnya secara terang-terangan, ia tidak terima ketika papa secara tidak langsung mengatakan bahwa aku adalah kakak tirinya.

Berhari-hari Nara mendiami Papa dan Mama. Mengatakan bahwa mereka berbohong. Mengejek Juna dan Hansol yang mau-maunya dibohongi dan dibodohi.

Namun saat Nara ingin menatapku ia selalu enggan dan memalingkan wajahnya, karena faktanya ia sudah tahu bahwa Papa dan Mama tidak mungkin berdusta.

Hingga pada malam dimana amarahnya sudah mulai reda, disaat aku mengajaknya bicara di balkon rumah, hanya berdua, di tengah malam disaat semua orang sudah tertidur lelap.

“Kakak merasa menjadi anak-anak itu lebih baik daripada tumbuh dewasa. Sangat menyulitkan, selalu ada saja masalahnya.” ucapku sambil mengusap Surai panjang Nara, “bukankah begitu?”

Nara hanya memandang lurus kedepan, aku hanya melihat raut datar diwajahnya. Namun matanya yang terlihat berkaca-kaca tidak berbohong bahwa ia menahan mati-matian air matanya agar tidak jatuh.

“Apakah kakak akan pergi?”

“Ini rumah kakak, tidak ada alasan apapun untuk pergi”

“Tapi papa bilang-”

Aku melihat ke arah Nara yang tidak melanjutkan ucapannya.

“Kakak bukan anak mama?”

“Kakak anak mama!!”

Nara terlihat tidak menyukai kalimat itu, yang menyatakan bahwa aku bukan anak mama. Ia terlihat tidak ingin mendengarnya.

Aku hanya tersenyum tipis untuk menanggapi ucapan dari adikku. ” Papa disini, Mama disini, Juna, kau, dan Hansol juga disini. Keluarga kakak disini, ini rumah kakak. Nara, tidak ada alasan apapun untuk kakak pergi.”

Setelah mengatakan itu Nara berdiri menghadap ke arahku, ia terlihat mengulurkan jari kelingkingnya kehadapan ku.

“Berjanjilah, kakak tidak akan pernah pergi dari rumah ini, dari kami.”

Aku menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku. “Janji.”

Pada saat itu aku telah berjanji dan menjamin, bahwa aku tidak akan pergi dari rumah atas kemauanku sendiri. Karena mereka adalah keluargaku tempat yang telah banyak memberikan kehangatan dan kasih sayang kepadaku, serta tempat beristirahat ternyaman bagiku.

Aku juga berjanji akan melindungi mereka. Aku ingin berbahagia dengan keluarga ini dan bersama keluarga ku nanti di masa depan.

Ikatan keluarga itu bukan tentang satu aliran dari darah yang sama. Melainkan rasa hormat dan kasih sayang terhadap sesama.

“Jangan hapus persaudaraan hanya karena sebuah kesalahan dan sifat egois. Namun hapuslah kesalahan demi utuhnya sebuah persaudaraan.” *