Berita  

Awalnya 21 Bulan Hukuman Achiruddin Hasibuan Tambah 6 Tahun

Akhiruddin Hasibuan ketika mengikuti persidangan di PN Medan.

Medan , MWT – Dalam waktu kurang dari 5 menit setelah divonis hukuman penjara selama 21 bulan terkait pembiaran terhadap anaknya, AAGH , terdakwa melakukan penganiayaan terhadap korban Ken Admiral, Dr. Achiruddin Hasibuan, di ruang sidang serupa dan dituntut hukuman pidana maksimal, yakni 6 tahun penjara.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut), Randi Tambunan, di Cakra 4 PN Medan juga menuntut terdakwa dengan pidana denda Rp50 juta, yang dapat diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan jika denda tidak dibayar.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, Dr. Achiruddin Hasibuan bersama Parlin alias Alin dan Edi (berkas penuntutan terpisah) dinilai telah memenuhi unsur melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama. Yakni pidana Pasal 55 angka 9 Pasal 40 Paragraf 5 Bagian Keempat Bab III UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang telah ditetapkan menjadi UU sesuai UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

“Penyalahgunaan mekanisme niaga atau pendistribusian BBM jenis solar subsidi secara khusus diatur oleh PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo, Tbk sebagai Badan Usaha yang ditugaskan melaksanakan penyediaan. Dan pendistribusian jenis BBM tertentu (BBM yang disubsidi Pemerintah) umumnya dilakukan oleh penyalur yang berkontrak dengan Badan Usaha tersebut,” jelas JPU.

Perbuatan para terdakwa dianggap meresahkan masyarakat dan bertentangan dengan program pemerintah dalam pendistribusian BBM jenis solar.

“Terdakwa sebagai aparat kepolisian seharusnya mengayomi masyarakat. Sementara itu, tidak ada hal yang meringankan tindakan mereka,” tegas Randi Tambunan.

Di sisi lain, Parlin alias Alin dan Edi, dua terdakwa lainnya, dituntut dengan hukuman lebih ringan. Keduanya dituntut pidana penjara selama 4 tahun dengan denda dan subsider, sama dengan terdakwa AKBP Achiruddin Hasibuan.

Majelis hakim di bawah pimpinan Oloan Silalahi melanjutkan persidangan pekan depan dengan agenda penyampaian nota pembelaan (pledoi) dari para terdakwa dan tim penasihat hukum mereka.

Dalam konteks BBM, Randi Tambunan dalam dakwaannya menjelaskan bahwa pada April 2022, saksi Kasim yang tinggal di Jalan KL Yos Sudarso Lingkungan II, Kelurahan Lalang, Kecamatan Rambutan, Kota Tebing Tinggi, Provinsi Sumut, didatangi oleh saksi Samut, terdakwa, dan 3 orang lain yang tidak dikenal oleh saksi.

Pokok dari kedatangan Achiruddin adalah untuk meminta tolong agar dicarikan mobil boks untuk usaha, tanpa merincikan penggunaannya. Sekitar September 2022, saksi Kasim mendapat informasi bahwa saksi Rosman ingin menjual mobil jenis boks merek Daihatsu Delta, berwarna silver, yang kemudian diperbaiki.

Setelah mobil diperbaiki, saksi Kasim menghubungi terdakwa dan akhirnya disepakati harga mobil sebesar Rp38 juta. Sebagai imbalannya, terdakwa memberikan komisi sebesar Rp3 juta.

Terdakwa, yang merupakan mantan Kasat Narkoba Polres Deliserdang, memerintahkan seseorang bernama Jupang sebagai sopir mobil boks untuk melakukan kegiatan usaha pengangkutan minyak kondensat/minyak sulingan yang berada di daerah Pangkalan Berandan atau Aceh untuk dijual kembali kepada pembeli dengan harga yang lebih tinggi.

“Mobil boks tersebut juga digunakan sebagai alat angkut dalam kegiatan pembelian BBM jenis solar bersubsidi dari berbagai tempat di daerah Medan sekitarnya, termasuk Kabupaten Deliserdang dan Kota Binjai,” terang Randi Tambunan.

Solar bersubsidi juga dibeli dari sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dengan harga Rp6.800 per liter, kemudian diangkut dan dibawa ke gudang penyimpanan milik PT Almira Nusa Raya di Jalan Karya Dalam/Jalan Guru Sinumba, Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan.

“Namun pembelian dari beberapa SPBU tersebut mencurigakan karena dilakukan beberapa kali pada hari yang sama dan dalam waktu yang relatif berdekatan. Setelah tiba di gudang penyimpanan, kemudian dilakukan pembongkaran dan pemindahan solar tersebut dari tangki mobil boks ke salah satu tangki penyimpanan dengan volume 16 ton untuk disimpan beberapa waktu.

Setelah penyimpanan, di situasi kelangkaan bahan bakar jenis solar dan harga yang relatif tinggi, terdakwa menjual kembali kepada konsumen industri dengan harga di atas harga subsidi yang ditetapkan oleh Pemerintah, dengan rata-rata keuntungan Rp300 per liter,” jelas JPU.

Mekanisme pendistribusian BBM jenis minyak solar subsidi secara khusus diatur oleh PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo, Tbk sebagai Badan Usaha yang ditugaskan melaksanakan penyediaan dan pendistribusian jenis BBM tertentu (BBM yang disubsidi Pemerintah). Penyalur biasanya berkontrak dengan Badan Usaha tersebut dengan cara menebus Delivery Order (DO) atau Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) atau sebutan lain kepada Badan Usaha melalui pembayaran atas sejumlah nilai kebutuhan BBM melalui bank yang ditunjuk.

Selanjutnya agen (transportir) mengangkut jenis BBM yang dipesan oleh Penyalur (SPBU, SPBB, SPDN, SPBN, APMS dan AMT / Pangkalan Minyak Tanah) dari Terminal BBM / Depot langsung ke alamat disertai dengan surat jalan atau surat pengantar pengiriman (SPP) atau nama lain. (bet)