Pontianak, MWT – Dugaan praktik mafia tanah kembali mencuat di Kota Pontianak. Warga yang bermukim di Jalan Wak Sidik, Gang Amaliah, Kecamatan Pontianak Tenggara mengaku resah lantaran tanah garapan mereka yang sudah puluhan tahun tiba-tiba diklaim pihak lain. Lebih jauh, warga menduga ada keterlibatan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menerbitkan sertifikat di atas lahan tersebut.
Forum Pemilik Tanah bersama LBH Herman Hofi Law menjelaskan bahwa lahan yang disengketakan merupakan tanah garapan M. Sidik bin Bacok berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) tahun 1957. Setelah itu, tanah dilanjutkan kepada anaknya, almarhum Jumadi M. Sidik, dengan SKT tahun 1981–1985.
Warga kita sudah menggarap puluhan tahun tanpa ada gangguan. Baru akhir-akhir ini muncul klaim dari beberapa orang . Kalau memang mereka mengklaim, buktikan surat sah atau sertifikat yang legal dan jelaskan asal-usulnya,” ujar salah satu perwakilan warga.
Menurut warga, sejak 2013 pihak yang mengklaim mulai melakukan jual beli tanah. Namun ketika masyarakat mengajukan legalitas ke BPN, justru ditemukan sertifikat atas nama pihak lain.
Kuasa hukum warga, Dr. Herman Hofi Munawar dari LBH Herman Hofi Law melalui keterangan tertulisnya kepada redaksi menegaskan, bahwa tanah tersebut jelas merupakan tanah garapan rakyat kecil sejak 1957 dengan bukti SKT.
Sudah ada tanam tumbuh dan penguasaan nyata oleh warga. Aneh, tiba-tiba muncul beberapa sertifikat atas nama orang lain di atas lahan yang sama. Kami mempertanyakan kinerja BPN: bagaimana sertifikat ganda itu bisa terbit, tegas Herman.
Ia juga mengungkap adanya intimidasi terhadap warga. Beberapa warga bahkan dipanggil Polda Kalbar setelah membuka pagar yang dipasang pihak pengklaim. Pagar itu dinilai menghalangi akses warga untuk menggarap lahannya sendiri.
Cara-cara seperti ini tidak benar. Rakyat kecil dikriminalisasi, sementara pihak yang punya modal dan kekuasaan malah leluasa merampas tanah, tambahnya.
Forum Pemilik Tanah berharap aparat penegak hukum, pemerintah daerah, hingga pusat bisa turun tangan menuntaskan masalah ini secara adil.
Kami sudah menempuh jalur resmi melalui RT/RW, kelurahan, hingga kecamatan. Tapi sampai sekarang belum ada kepastian. Kami hanya ingin hak kami dihormati dan rakyat kecil tidak dikorbankan, pungkas perwakilan warga.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan agraria di Kalimantan Barat. Publik kini menanti langkah konkret BPN dan aparat penegak hukum dalam menangani dugaan mafia tanah yang kerap merugikan masyarakat kecil. (rel)