Gadis Dayak terkenal dengan parasnya yang cantik, bertubuh anggun dan peramah. Alam dengan segala warisannya seakan menganugerahkan tetesan air nira bagi kulitnya agar halus mulus serta selaksa tetumbuhan rimba raya merawat helai demi helai rambutnya tumbuh lebat dan subur.
Bisa jadi, itulah yang membuat sosok mereka tidak perlu berlama – lama menanti kedatangan sang kekasih pujaan hati. Pesona yang dimiliki gadis Dayak ini ternyata memiliki daya pikat yang ampuh untuk mengundang banyak kaum Adam mendekat. Tentunya dengan harapan penuh, sesegera mungkin dapat hidup serumah.
Di pedalaman Kalimantan Barat khususnya Jelai Sekayuq, sering ditemukan gadis Dayak dengan segala pesonanya di semua tempat pertemuan. Kecantikannya alami tanpa polesan kosmetik dan sangat memegang teguh adat leluhur yang diajarkan secara turun temurun.
Pada upacara adat Ngajan (ritual arwah adat dayak) ketika anak gadis hadir, selalu diingatkan agar mencicipi air nira (mbulak pus bahasa setempat) sebagai bagian budaya.
Hal tersebut sudah menjadi tradisi, bahkan kadangkala tanpa diingatkan pun anak yang beranjak dewasa sudah paham. Kalaupun ada yang menjauh dari tradisi budaya tadi , masyarakat akan menasehatinya .
Singkat
Gadis Dayak yang belia dan cantik sudah sewajarnya mempunyai kekasih tanpa perlu menunggu waktu terlalu lama. Pertunangan, masuk minta (pinangan) selanjutnya menjadi bagian dari proses yang biasanya ditengahi tetua adat setempat. Saat itulah pertemuan antara keluarga lelaki dan pihak si gadis berlangsung.
Otomatis hari baik acara adatnya segera ditentukan setelah rapat galang (rapat bersama para penghulu atau tetua adat). Gadis cantik yang tadinya sendirian kemudian menjadi calon istri dari suaminya. Ia akan dituntun belajar menjadi calon ibu sekaligus merawat anaknya kelak.
Bagi warga pedalaman Jelai Sekayuq sudah menjadi hal biasa bila si gadis cantik sejak dini mengenal calon suaminya. Perkunjungan yang sering dilakukan menjadi agenda sang kekasih datang ke rumah si gadis.
Itu pula tandanya si pria tengah berupaya belajar bertanggung jawab manakala mereka berdua siap ke pelaminan.
Fenomena orang tua menasehati kedua pasangan cinta sering terdengar saat itu. Harapannya, agar si lelaki semakin dewasa dengan beban tanggung jawab. Denda adat sebagai konsekwensi tanggung jawab bagian akhir untuk ditempuh setelah upaya lainnya didahulukan.
Bujang Bebini Dara Belaki
Acara kawin adat adalah solusi bagi si gadis Dayak sebagai pernyataan bahwa hubungannya sah dengan lelaki pilihannya (kekasih) di mata semua orang. Di daerah Dayak Sekayuk Jelai, adat pernikahan selalu dilangsungkan di kediaman keluarga mempelai wanita.
Hal ini tentu merupakan tradisi bukan sebuah kesepakatan para pihak. Kedua mempelai dinilai masih memerlukan pembinaan orang tua sebagaimana peribahasa adatnya berbunyi ” anak ikai belom tohu betatak kantong, seruas bulu”. Artinya anak perempuan kami serahkan sepenuhnya kepada pihak lelaki, manakala dia yang belum tahu tentang banyak hal mohon diarahkan, dibimbing dan diajarkan soal menjadi istri yang baik.
Enggan Hidup ke Luar
Seperti sebuah misteri tersendiri, mengapa gadis Dayak enggan diajak hidup di luar daerah pulau Kalimantan. Survey sederhana yang dilakukan awak Media Warta Tipikor kepada 10 gadis Dayak dengan suguhan pertanyaan, apabila punya jodoh dengan lelaki dari luar pulau Kalimantan, maukah diajak hidup di luar daerah?
Hanya 2 dari 10 gadis menjawab mau, tapi dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan tersebut salah satunya harus ada jadwal tiap tahun berkunjung ke keluarga dan kampung halaman di Kalimantan.
Sementara 8 diantaranya secara tegas menolak dan tetap memilih hidup di kampungnya. Bermacam – macam alasan penolakan, namun secara garis besar pemikiran belum siap menghadapi hidup baru di luar daerah Kalimantan.
Memulainya dianggap sangat sulit untuk beradaptasi, baik dengan lingkungan sekitar, rumah tanggadan keluarga. Baginya pulau Kalimantan masih terlalu nyaman dalam berbagai hal.
Harapan Baru
Peralihan menuju hidup yang berkualitas selalu melalui pendekatan persuasif dan efek manfaatnya harus lebih banyak dirasakan gadis dan remaja lainnya. Sikap ajakan hidup yang baik adalah melalui praktek yang bersifat kompetitif melalui adat. Dengan demikian generasi penerus bukan hanya pemegang mitos atau dongeng soal sejarah adat yang tetap terwariskan namun melalui berbagai pelatihan di lembaga sekolah demi terjadi pelestarian.
Demikian juga soal keterampilan membuat kerajinan tangan semacam Kindai (tempat wadah tradisional Dayak) yang terbuat dari rotan. Hal baik semacam ini justru akan mendatangkan benefit lebih, misalnya pengolahan kerajianan tangan tersebut menjadi mode kreatif baru untuk dikomersialkan (dijadikan mercendise dan lain sebagainya).
Jika benefit dirasakan melalui komersial tadi maka disitulah letak manfaat langsung bagi pemuda – pemudi Dayak. Melalui kreatifitas hidup seperti ini sungguh peralihan fungsi hidup berkualitas daripada budaya pembiaran terhadap kebiasaan buruk lainnya.
Pendidikan rohani dan jasmani mulai dari lingkungan keluarga, lembaga pendidikan dan agama harus dilakukan bersama. Sosialisasi kesehatan misalnya, efek nira atau fermentsi lainnya kurang baik bagi kesehatan. Peran penting hidup dalam kerohanian menjadi nilai lebih bagi kaum mudah khususnya gadis Dayak.
Harapannya adalah agar tradisi atau kebiasaan anak muda terutama para gadis Dayak yang memesona makin sempurna manakal berperilaku hidup baik, maju serta sehat. Untuk itu semua elemen masyarakat harus ikut andil bagian dalam mempertahankan pesona gadis Dayak ini.(*)