Duakali Disegel PT BSI Diduga Rusak Ekosistem Laut di Batam

Foto udara mesin pemecah batu/pendorong,pengeruk dan penyedot pasir yang diduga milik PT BSI. (Dokumentasi Akar Bhumi Indonesia )

Batam,MWT – Nelayan tradisional di Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau, menyampaikan keluhan serius atas dampak aktivitas reklamasi dan penimbunan pantai yang dilakukanPT BSI. Aktivitas tersebut diduga menimbulkan pencemaran laut, merusak ekosistem pesisir, dan mengurangi hasil tangkapan nelayan.

Sugito, nelayan pancing asal Batu Besar, menuturkan bahwa reklamasi telah menutup terumbu karang dengan lumpur, sehingga ikan menjauh dari wilayah tangkap nelayan.

“Dulu sekali melaut bisa dapat satu sampai dua karung ikan dalam semalam. Sekarang, kami harus melaut lebih jauh dengan biaya bahan bakar bisa dua kali lipat, tapi hasil tangkapan justru berkurang,” ujar Sugito, Kamis (18/9/2025).

Hal serupa disampaikan Muhammad Idris, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Laut Biru. Ia menyebut, aktivitas reklamasi yang berlangsung lebih dari dua tahun terakhir berdampak luas terhadap nelayan di Kelurahan Batu Besar hingga  Pantai Nongsa.

“Rumah-rumah ikan sudah tertimbun lumpur, Sosialisasi atau kontribusi dari perusahaan juga tidak pernah ada. Semua kelompok nelayan di Nongsa terdampak,  jumlahnya diperkirakan lebih dari 240 orang,” jelasnya.

Idris mengaku sebelumnya juga telah malaporkan pencemaran laut ini kepada Dinas  Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau.

Pekerja PT BSI sedang menutupi sisi reklamasi menggunakan plastik.(Dokumentasi Akar Bhumi Indonesia.)

Geri Dafit Semet, Ketua Pokmaswas Pandang Tak Jemu Nongsa, menyesalkan tindakan perusahaan yang melakukan reklamasi tanpa memikirkan dampak yang terjadi di laut.

“Kejadian ini, selain sangat merugikan nelayan di sekitar perairan Nongsa, juga telah merusak ekosistem laut. Di satu sisi kita melestarikan ekosistem laut di sisi yang lain ada perusahaan yang merusaknya,” kata Geri, yang juga pelaku wisata mangrove.

Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia yang melakukan verifikasi pencemaran lingkungan tersebut, menyoroti lemahnya kepatuhan perusahaan terhadap aturan lingkungan hidup. Menurutnya, reklamasi yang dilakukan PT BSI telah merusak ekosistem laut, menyebabkan kekeruhan air, dan merugikan nelayan.

“Ini bukan pertama kali kami laporkan. PT BSI sudah dua kali disegel karena tidak memiliki izin Program Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan Izin Lingkungan dari DLHK Provinsi Kepri namun, aktivitas tetap berlanjut,” tegasnya.

Akar Bhumi Indonesia (ABI) menduga aktivitas ini  melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Batam adalah pulau kecil dengan mayoritas masyarakatnya nelayan. Pembangunan di pesisir harusnya mengikuti prosedur dan mengutamakan kelestarian lingkungan.

Namun yang kami lihat, perusahaan justru abai dan merugikan masyarakat.PT BSI telah dengan sengaja secara berulang-ulang melakukan dugaan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Mestinya sanksinya pidana. ” tegas Hendrik.

Soni Riyanto, Ketua Akar Bhumi Indonesia, menambahkan bahwa pekerjaan reklamasi yang dilakukan PT BSI jauh dari standar lingkungan.

“Kami menemukan mereka sedang memasang plastik untuk menutupi sedimentasi agar tidak turun ke laut, tapi pekerjaan ini mustahil menghentikan lumpur yang terbawa  arus. Tidak adanya pembangunan tanggul maupun silt barricade di sekeliling area reklamasi telah mengakibatkan kerusakan besar di pesisir hingga laut,” ujarnya.

Soni juga menjelaskan bahwa reklamasi dilakukan dengan cara menebarkan material timbunan berupa tanah langsung ke laut. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan pesisir yang luas, termasuk di area ±3,5 mil dari Kampung Panau menuju Pulau Tanjung Sauh yang juga sedang dilakukan penimbunan besar-besaran, yang sebelumnya dikenal sebagai kawasan dengan ekosistem terumbu karang dan mangrove yang kaya. Kini nelayan Kampung Panau merasa “terjepit” oleh kerusakan dan bingung mencari nafkah.

Menurut temuan Akar Bhumi Indonesia, sebelum reklamasi, ekosistem mangrove seluas ±8 hektar masih menutupi hampir sepanjang tepian teluk, dengan vegetasi lengkap mulai dari Rhizophora, Sonneratia, Xylocarpus, Avicennia, hingga Bruguiera.

Namun kini ekosistem tersebut telah tertimbun. “ Perlu diketahui bahwa lokasi ekosistem mangrove tersebut termasuk dalam Peta

Mangrove Nasional. Lokasi reklamasi memang berstatus APL (Area Penggunaan Lain), tetapi mangrove yang ada tidak boleh diabaikan. Truk pengangkut tanah bauksit dan alat berat terlihat jelas di lokasi. Ini menimbulkan kerusakan lingkungan, mengganggu ekonomi masyarakat nelayan, dan berpotensi memperparah masalah sosial di Batam,” tegas Soni.

Akar Bhumi Indonesia menegaskan akan kembali melaporkan dugaan pelanggaran ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup, agar segera dilakukan verifikasi lapangan dan penegakan hukum.(Zul)