Ancaman Purbaya Dan Stiker Bea Cukai Batam

Laporan : M Zulkifli, Kaperwil Media Warta Tipikor Kepri.

Di balik pintu rapat Komisi XI DPR RI, suara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terdengar seperti palu godam: “Bea Cukai bisa saya rumahkan seluruhnya.”

Sebuah kalimat yang membuat ruangan kaku, sekaligus membuka babak baru dalam kisah panjang pengawasan kepabeanan yang tak pernah benar-benar bersih. Ancaman itu bukan sekadar imbauan moral—tetapi ultimatum negara kepada para penjaga gerbang ekonomi yang selama ini dianggap menyimpan banyak ruang gelap.

Purbaya tak lagi berbicara dengan bahasa diplomatis. Ia menegaskan bahwa jika dalam setahun tak ada perbaikan signifikan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bukan hanya dibekukan, tetapi pegawainya akan dirumahkan tanpa gaji hingga pensiun.

Nada ancaman itu membuka kembali memori Orde Baru, ketika sebagian fungsi Bea Cukai pernah dialihkan ke swasta akibat praktik kotor yang merajalela.

Tekanan ini muncul di tengah sorotan atas praktik mencurigakan yang kembali mencuat di lapangan. Di Batam misalnya, seorang oknum bertindak layaknya petugas Bea Cukai tanpa seragam resmi, melakukan pendataan muatan kapal pompong dan menempelkan stiker mirip milik instansi tersebut.

Lebih mengherankan lagi, stiker itu memuat nama berinisial DASD, lengkap dengan NIP dan tanda tangan, seolah ia adalah pejabat sah yang mengawasi pengeluaran barang.

Wartawan berhasil mendokumentasikan aktivitas itu: mendata material, menempelkan stiker, memotret bukti, lalu pergi tanpa sepatah penjelasan. Ketika dikonfirmasi, oknum ini memilih menghindar, menciptakan ruang tanya besar tentang siapa yang melindungi dan siapa yang memanfaatkan celah dalam sistem pengawasan.

Di kantor Bea Cukai Batam, sejumlah pegawai bahkan memberi jawaban ringan bahwa yang bersangkutan sedang “cuti”. Jawaban yang justru menambah kecurigaan bahwa praktik seperti ini bukan insiden tunggal, tetapi pola.

Informasi di lapangan menyebut, tindakan serupa sudah berlangsung lama, menjadi kesepakatan tak tertulis antara sejumlah oknum dan pelaku usaha. Stiker yang tertinggal di kapal kini menjadi bukti kecil dari masalah besar: longgarnya pengawasan aparat berwenang.

Pihak Humas BC Batam, Mujiono, hanya menyatakan akan mengonfirmasi ke unit terkait. Namun, duduk persoalan ini jauh lebih berat dari sekadar pengecekan administratif.

Apalagi di tengah operasi beruntun Bea Cukai Batam beberapa waktu terakhir, publik menilai praktik semacam ini melanggar UU No.17/2006 tentang Kepabeanan serta PP No.41/2021—yang mewajibkan pengawasan seluruh jenis kapal demi mencegah penyelundupan.

Jika kasus ini dibiarkan, maka ancaman Purbaya bukan lagi peringatan, melainkan konsekuensi yang menunggu di ujung jalan. Persoalan bukan hanya tentang satu oknum, tetapi mengenai sistem kontrol lapangan yang retak—bahkan mungkin keropos.

Pada akhirnya, pertanyaan terbesar menggema: Apakah ancaman Menteri Keuangan cukup untuk mengguncang barisan yang telah lama nyaman dalam bayang pengawasan longgar? Ataukah ini hanya akan menjadi episode lain dari kisah berulang penegakan kepabeanan? (*)