Di bawah terik matahari pesisir Bagan Deli, Medan, Muhammad Risky Pratama mengayuh sepedanya pelan. Di setang depan, dua ember berisi sekitar 30 kilogram ikan ikut bergoyang mengikuti jalan. Saat itu usianya baru 12 tahun, tetapi tanggung jawab hidup sudah terasa berat di pundaknya.
Sejak duduk di kelas VI sekolah dasar, Risky membantu ekonomi keluarga dengan berjualan ikan. Setiap hari, ia berkeliling puluhan kilometer menawarkan ikan selayang, kurin, trisi, hingga udang. Aktivitas itu membuatnya harus berhenti sekolah karena keterbatasan biaya.
“Bawanya pakai ember, ditaruh di setang sepeda,” tutur Risky polos.
Risky adalah anak sulung dari empat bersaudara. Sejak kecil, ia tinggal bersama kakek dan neneknya. Ibunya merantau bekerja ke Malaysia, lalu ke Batam, sementara ayahnya mencari nafkah sebagai nelayan di Pantai Labu. Pertemuan dengan orang tua pun jarang terjadi.
“Dari saya kelas 4 SD mama pergi ke Batam. Belum ada balik. Waktu itu pernah telepon, tapi cuma sekali saja. Kalau ayah, kadang habis melaut singgah di rumah nenek,” ujarnya.
Kakeknya sehari-hari menjadi nelayan kerang. Dalam sehari, hasil tangkapan sekitar 20 kilogram kerang dijual ke tengkulak dengan harga Rp7 ribu per kilogram. Dari keluarga sederhana inilah Risky belajar arti kerja keras sejak dini.
Meski lelah, Risky tidak pernah mengeluh. Ia mulai berjualan sejak pukul 10 pagi dan bisa mendapatkan upah hingga Rp100 ribu sehari. Kadang, ada pelanggan yang memberi uang lebih karena iba melihat usahanya. Jika ikan tidak habis, sisanya dikembalikan kepada pemilik dagangan.
Perjuangan Risky akhirnya sampai ke layar ponsel banyak orang. Sebuah video yang merekam dirinya bersepeda sambil menjajakan ikan viral di media sosial. Dari sana, bantuan pun berdatangan. Risky menerima donasi hingga Rp100 juta, yang ia gunakan untuk menyelesaikan sekolah dasar dan membantu kebutuhan keluarga.
Namun, tantangan belum selesai. Setelah lulus SD, Risky belum lancar membaca dan berhitung. Harapannya kembali tumbuh ketika ia diterima sebagai siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 2 Medan, sekolah gratis yang memberi ruang bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Kini, Risky bisa lebih fokus belajar. Bocah yang bercita-cita menjadi tentara itu mengaku senang berada di lingkungan sekolah barunya.
“Di sini enak, senang. Sekarang sudah bisa lebih lancar membaca, walau masih ngeja sedikit,” katanya sambil tersenyum.
Dari sepeda dan ember ikan, Risky melangkah menuju ruang kelas. Kisahnya menjadi pengingat bahwa kesempatan, sekecil apa pun, bisa mengubah arah hidup seorang anak. (red)
