Berita  

Batam Status Darurat Pesisir, ABI : Diduga Ilegal

Armad pengangkut material saat menuangkan tanah ke pinggir laut.

Batam, MWT – Pada tanggal 1 Desember 2025, Akar Bhumi Indonesia (ABI) kembali menemukan aktivitas penimbunan pesisir yang diduga kuat ilegal di kawasan Tanjung Tritip, Kelurahan Tanjung Uma, Kota Batam, Kepulauan Riau. Temuan ini merupakan hasil verifikasi atas aduan masyarakat yang diterima sekitar satu minggu lalu.

Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, langsung turun ke lokasi untuk melakukan pengecekan lapangan. Ia menyaksikan bahwa aktivitas penimbunan masih berlangsung di dua titik. Lokasi pertama diperkirakan seluas ±10 hektare, sementara lokasi kedua yang baru dibuka mencapai ±1 hektare dan terindikasi akan terus bertambah. Adapun titik koordinatnya 1°134986″N 103°991635″E  &  1°137896″N 103°990717″E .

Menurut Hendrik, praktik penimbunan tersebut dilakukan tanpa menerapkan kaidah perlindungan lingkungan hidup. “Material ditumpahkan begitu saja ke pesisir tanpa buffer atau tanggul. Sangat jelas terlihat pencemaran serta kerusakan ekosistemnya,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa Batam tengah berada dalam kondisi darurat pesisir, di mana ruang hidup nelayan menyempit akibat masifnya penimbunan lahan. Kami juga menemukan ekosistem Mangrove yang tertimbun yang mana sangat berpengaruhi seascape yakni mangrove, padang lamun dan terumbu karang sebagai bagian bentangan alam (bioecoregion).

“Batam dikepung penimbunan. Nelayan semakin jauh mencari ikan karena wilayah tangkap mereka berubah menjadi daratan,” tambahnya.

Dalam pemantauan di lapangan, ABI juga menemukan keberadaan keramba milik nelayan yang masih beroperasi. Area ini merupakan salah satu titik ground fishing masyarakat pesisir. “Tanpa keseimbangan antara pembangunan, sosial-ekonomi, dan lingkungan, pasti ada pihak yang dirugikan. Dan itu kini dialami langsung oleh nelayan,” jelas Hendrik.

ABI juga mencatat adanya indikasi intimidasi terhadap masyarakat. “Beberapa warga yang kami temui enggan diwawancarai. Kami menduga mereka mengalami tekanan.

Kendati demikian, kami tetap berupaya mengumpulkan keterangan dan keluhan nelayan,” katanya.

Seorang nelayan berinisial J mengungkapkan bahwa sebelum penimbunan dilakukan, hasil tangkapan di kawasan tersebut cukup baik karena biota laut masih melimpah.

Ia menyebut perusahaan menawarkan ganti rugi sebesar Rp2.000.000 per KK, namun masyarakat menilai jumlah tersebut tidak sebanding dengan kehilangan sumber penghidupan mereka.

“Mau tidak mau mereka terima, karena proyek tetap berjalan dan laut akan ditimbun. Mereka tidak punya pilihan,” terang Hendrik menyampaikan keluhan warga.

Selain merusak pesisir, aktivitas penimbunan juga mengancam ekosistem mangrove di sekitar lokasi. ABI menekankan bahwa perlindungan mangrove merupakan mandat penting negara sebagaimana diatur dalam PP 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, termasuk mangrove yang berada di luar kawasan hutan.

ABI menduga aktivitas penimbunan di Tanjung Tritip melanggar sedikitnya empat regulasi lingkungan hidup, yaitu:

  1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  1. UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
  1. PP No. 122 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
  1. PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hendrik menegaskan bahwa kegiatan penimbunan tersebut harus dihentikan segera mengingat daya dukung dan daya tampung lingkungan Batam semakin terbatas. Ia menyatakan bahwa kerusakan yang dibiarkan berlarut-larut hanya akan memperparah bencana ekologis dan sosial di masa mendatang.

Akar Bhumi Indonesia akan segera melaporkan temuan ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH) serta Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai otoritas yang memiliki kewenangan penuh terhadap reklamasi dan tata kelola lingkungan berdasarkan PP 25 dan PP 28.

Namun, ABI menilai BP Batam belum didukung sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan pengawasan yang efektif terhadap maraknya aktivitas reklamasi, sehingga pelibatan pemerintah pusat menjadi sangat penting untuk memastikan penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya.

Hendrik menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa Batam hingga kini masih berada dalam status darurat pesisir sebagaimana telah mereka nyatakan sejak 2022, dan kondisinya tidak banyak mengalami perubahan. Ia menekankan bahwa negara harus benar-benar hadir dalam penegakan hukum, pengawasan lingkungan, dan perlindungan hak-hak masyarakat pesisir. (rel ABI)